Senin, 23 Mei 2011

MELATIH MELAYANI SAUDARA TUHAN


“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku” (Mat 25:45)

   Pada suatu malam, seorang bapak mengajak anaknya yang baru kelas 3 SD untuk melatih ingatan atas apa yang dilewati hari itu. Kalau bisa menjawab sempurna, bapak akan memberi angka 10. Kalau tidak sempurna, nilainya 5. Jawaban dituliskan di sebuah kertas penilaian ingatan anak. Bapak itu bertanya, “ Apa yang kita temukan dalam ruangan penjara ?” Anak itu dengan lantang menjawab “ penjahat”. Untuk jawaban itu bapak menuliskan angka 5 bukan angka 10 yang berarti sempurna kebenaran jawaban anak itu.  “ tadi waktu jalan pulang, di perempatan kita berjumpa dengan siapa?” bapak melanjutkan dengan pertanyaan kedua. “pedagang asongan, orang bencong mengamen, orang lepra mengemis, anak bayi yang di gendong seorang ibu yang meminta-minta. Lengkap kan papa jawabanku?” sahut anak itu dengan senyum kemenangan. Bapak itu menuliskan angka 5 kembali. “ siapa yang kita tengok di rumah sakit tadi?” Tanya bapak itu lagi. Dengan semangat anaknya menyahut, “ Bibi Atun, pembantu kita.” Bapak pun menuliskan angka 5 kembali. Anaknya melirik pada kertas itu dan menunjukkan ketidakpuasan atas penilaian ayahnya dan berkata,”kenapa papa tidak pernah memberi aku nilai sempurna? Mengapa nilaiku selalu 5 saja?”  Maka bapak itu menjawab, “ Anakku, nilai 5 menunjukkan bahwa kamu bisa menjawab, tetapi tidak sempurna. Mengapa? Karena aku belum pernah mendengar kamu menemukan Tuhan seharian ini, baik di penjara, perempatan jalan, rumah sakit. Nilai 5 juga berarti kamu masih perlu belajar terus menemukan Tuhan yang hadir dan berkarya dalam hidup kita. Kamu tidak harus mengerti sekarang , tetapi saya berharap kamu akan menangkap kehadiran Tuhan dalam perjumpaanmu dengan sesamamu di manapun.”
Benarkah jawaban-jawaban anak itu hanya menjadi jawaban anak-anak seumur dia? Mungkin juga banyak orang dewasa dalam hidup sehari-hari hanya mengingat apa yang dipandang oleh mata duniawi kita. Ajakan untuk melayani saudara-saudari  Yesus yang hina dalam diri orang yang kelaparan, kehausan, telanjang, di penjara, sedang sakit, pendeknya orang miskin dan bersengsara, akan semakin efektif kalau kita memiliki semangat berbagi dengan orang miskin dan bersengsara. Semangat berbagi ini pasti semakin berkembang kalau mata hati kita melihat kehadiran Tuhan dalam diri mereka yang miskin dan bersengsara. Dalam Latihan Rohanim (LR), Ignasius mengajak orang memandang bagaimana Allah tinggal dalam ciptaan-ciptaan-Nya : dalam alam benda membuat “ adanya”, dalam alam tumbuhan memberi daya tumbuh, dalam binatang memberi daya rasa, dalam manusia memberi pikiran; jadi dalam diriku, “ Tuhan membuat aku ada, hidup, berdaya rasa dan berpikiran , bahkan dijadikan-Nya aku bait-Nya karena aku telah diciptakan serupa dan menurut citra yang Mahaagung.” (LR 235)

Pertanyaan efektif:
         Kalau Allah tinggal dalam diriku dengan membuat aku ada, hidup, berdaya rasa dan berpikiran bukankah Allah juga hadir dalam diri orang lain? Dengan demikian, kalau aku melayani orang miskin dan sengsara, bukankah benar yang dikatakan Yesus bahwa aku melayani Tuhan sendiri?

Tidak ada komentar: